Aikido Columns “It Had to Be Felt” dari Aikiweb
Dimulai dari tulisan ini, saya
akan mencoba menerjemahkan kolom–kolom “It
Had to Be Felt” dari website www.aikiweb.com
yang dipelopori oleh Ellis Amdur (seorang praktisi beberapa macam budo dan beladiri cina). Kemudian atas
permintaan beliau atau atas keinginan tiap-tiap kontributor, semakin banyak yang
berkontribusi dalam kolom tersebut.
Kolom–kolom tersebut mendeskripsikan
pengalaman pribadi tiap-tiap praktisi saat mengalami secara langsung menjadi uke (taking
ukemi) dari para tokoh aikido.
Menurut ucapan Ellis Amdur secara langsung : “ I would like to be part of something that, collectively, is … for
some time, even decades, the aikido community will have a resource in which
people can, for example, look up and read what it was like to grab Tada Hiroshi
or Kuroiwa Yoshio, all these wonderful teachers who are now gone, or whom you
will perhaps have no chance to meet. There were giants on the earth in earlier
days – perhaps we can, at least, get a felt sense of what it was like to work
directly with them through people’s memories”
Format tulisan pertama
adalah terjemahan murni dari teks asli tanpa saya tambahkan komentar atau catatan apa pun, lalu dilanjutkan dengan catatan–catatan pribadi saya atas
apa yang saya dapatkan dari teks asli tersebut. Saya menyadari bahwa saya bukan
seorang penerjemah sehingga terjemahan berikut sudah pasti jauh dari sempurna.
Banyak kata, kalimat, istilah, ungkapan, atau pun lelucon khas bahasa
Inggris yang mungkin akan terdengar sedikit aneh apabila diterjemahkan. Oleh karena
itu, saya mencantumkan link teks aslinya dalam bahasa Inggris di website aikiweb.
Semoga tulisan ini dapat
bermanfaat dan memberikan kebaikan.
#1 Mengejar Doshu, oleh Ellis Amdur
Saya datang kembali. Setiap hari
saya datang. Di malam hari, saya berada di Kuwamori Dojo atau dojo lainnya
(milik Kuroiwa Sensei, atau Nishio Sensei), tetapi di pagi hari, 2 sesi
latihan, dan 1 sesi di siang hari, saya berada di Aikikai.
Saya memiliki beberapa kelebihan
yang membuat saya terlihat menarik bagi para guru sehingga saya segera dipanggil untuk
menjadi uke saat menunjukkan teknik.
- Pertama–tama, ukuran tubuh saya. Saya bukan orang yang terlalu besar, tetapi saya tinggi dan bugar, melempar seseorang sebesar saya terlihat sangat bagus, dan menjadi suatu hal yang menarik untuk dipelajari. Terkadang seorang Shihan mendekati saya saat jeda antarsesi latihan dan mengatakan, “Hei, coba saya lakukan suatu teknik dengan-mu”, dan mereka mencoba mencari tahu apakah teknik–teknik tertentu membutuhkan penyesuaian untuk orang seukuran saya.
- Kedua, sikap saya. Saya menyerang dengan keras, tetapi saya tidak mengacau --atau mencoba untuk mengacaukan-- teknik yang dilakukan sang guru. Saya secara jujur memberikan apa yang diinginkan. Saya memperhatikan bagaimana murid mereka saat menjadi uke, dan walaupun saya tidak meniru mereka secara langsung, saya dapat memahami apa yang diinginkan sang guru. Saya memberikan serangan yang jelas sehingga memungkinkan mereka menunjukkan prinsip–prinsip yang ingin mereka sampaikan. (Ada beberapa pengecualian --saya akan menuliskannya pada kolom–kolom berikutnya-- tapi secara umum, cara saya melakukan ukemi dinilai cukup baik).
- Saya
bukan kelinci percobaan yang selalu meloncat sendiri dengan indah. Tidak
ada seorangpun di Honbu saat itu
yang melakukannya. Bahkan, Nobuyuki Watanabe tidak menginginkan hal
tersebut, walaupun beberapa dari muridnya sering menjatuhkan diri ke mana–mana. Namun, saya melakukan serangan yang jujur, dan mendapatkan lemparan
atau kuncian yang jujur sebagai jawabannya.
- Saya
menghormati tiap guru pada kelas mereka masing–masing. Jika saya menghadiri
kelas Osawa Sensei, saya
berusaha melakukan teknik persis seperti yang diajarkan. Begitu juga saat
di kelas Tada Sensei, Ichihashi Sensei, atau Chiba Sensei. Saya memiliki kesempatan
untuk membentuk teknik saya sendiri di Kuwamori Dojo, dengan persetujuan Yasunori Kuwamori, dan saya
memanfaatkan kehadiran saya di tiap kelas yang dipimpin oleh guru–guru
lain untuk mengumpulkan pengetahuan sebanyak mungkin. Saya berubah secara osmosis --setelah Tada Sensei, contohnya, melakukan suatu
teknik kepada saya atau menunjukkannya dengan uke lain sebanyak beberapa kali di depan saya, detail aspek
yang dilakukan oleh beliau mulai muncul dalam gerakan saya sendiri. Saya
berusaha menjadi murid terbaik bagi tiap guru. Seiring berjalannya waktu,
saya mengurangi datang ke kelas beberapa guru tertentu, karena dapat
dikatakan saya tidak menginginkan tambahan pengetahuan dari mereka. Akan tetapi, saya selalu membuka diri untuk belajar dari semua orang. Bahkan, saat saya
berlatih dengan seorang senpai,
saat mereka menginstruksikan sesuatu, walaupun beliau adalah orang tua yang
membosankan (banyak sekali orang seperti ini di lingkungan aikido Jepang), saya akan melakukan
persis seperti yang mereka katakan. Saya menggunakan sistem senpai demi keuntungan saya sendiri --melihat dari sudut pandang bahwa “tiap orang pasti mengetahui
sesuatu”. Hal ini terbangun oleh kebudayaan setempat, saya tidak pernah
merasakan kehilangan muka atau ego setiap mengikuti arahan mereka. Saya yakin
bahwa sampai suatu saat tertentu, saya akan menjadi semakin baik sehingga
mereka tidak perlu mengoreksi saya lagi. Daripada memutuskan gaya saya
sendiri dari sempitnya pengetahuan saya, saya biarkan gaya saya sendiri
berpadu dengan sebanyak mungkin pengetahuan yang dapat saya peroleh.
- Saya
dapat menerima teknik yang keras dengan melakukan ukemi yang aman, dan saya cukup sulit untuk disakiti. Reaksi
saya cukup tepat untuk melihat atemi
yang datang dan bereaksi, tetapi tidak bereaksi berlebihan, dan jika
seseorang memelintir siku atau pergelangan tangan saya, saya cukup kuat
menahan dan melakukan ukemi yang
tepat tanpa membuat diri sendiri cedera.
- Yang
paling utama, saya sangat bahagia dan gembira saat latihan. Maksud saya
adalah saya berlatih dengan serius, tetapi sangat terlihat jelas bahwa saya
menikmati saat–saat latihan tersebut. Sikap tersebut mempengaruhi
keadaan sekitar.
Doshu mulai secara rutin memanggil saya sebagai uke setelah sekitar 1 bulan saya
berlatih di sana, bahkan sebelum saya mencapai level Shodan. Namun pertama–tama, saya akan menjelaskan kesan saya
terhadap Doshu. Saya melihat beliau
berbicara dan tertawa bersama yang lain, mendengarkan beliau saat memberikan
instruksi, tetapi beliau memiliki “sesuatu” yang tidak ditunjukkan. Beliau
selalu seperti terpisah, bahkan sendirian. Beliau akan menatap dengan tenang
kepada sesuatu yang sedang terjadi dengan keheningan yang berwibawa. Beliau
mengingatkan saya kepada sosok seorang “Kaisar”, ditempatkan dalam tugas yang
tidak dapat dihindari untuk beliau penuhi. Peran tersebut tampak dilakukan
dengan baik --Saya tidak ingin meninggalkan kesan dalam pikiran, sepertinya
beliau ingin berada di tempat lain. Namun, beliau tampak terpisah.
2 hal yang menghilangkan kesan
tersebut, yang keduanya membuat saya tersenyum adalah:
·
Kuroiwa Sensei
menceritakan bagaimana saat murid–murid muda pergi untuk minum–minum, lalu Doshu, saat itu masih berstatus Waka-sensei, ikut bersama, lalu beliau
agak mabuk bahkan terkadang tanpa sadar memegang bokong pramusaji, kemudian
mereka membawanya pulang, sambil bernyanyi.
·
Diantara murid–murid yang berlatih di Honbu saat itu terdapat seorang
berkebangsaan Prancis, Daniel (saya tidak ingat nama belakangnya). Seingat saya
dia menyandang gelar Sandan atau Yondan, bersama saudaranya sama–sama
memiliki tinggi badan sekitar 4 kaki 6 inci. Kami secara rutin datang berlatih
ke kelas Doshu, dan saat kelas
selesai, kami melanjutkan berlatih bersama, sambil setengah bercanda. Dia
melakukan tenchi nage kepada saya,
dan saya melakukan shiho nage. Doshu, sambil berjalan menuju pintu,
tiba–tiba berhenti selama sekitar 5 menit, hanya berdiri melihat, tertawa,
seperti melihat perkelahian antara bangau dengan musang, dengan gaya mereka masing-masing.
Pada suatu hari, Doshu memanggil saya untuk menyerang.
Seingat saya adalah serangan eri dori.
Beliau melakukan tenkan lalu mengunci
dalam posisi wakigatame --beberapa
orang menyebutnya “rokyo” atau hijikime osae. Saya merasa seperti
dihantam dengan alat yang presisi --coba bayangkan, seperti dalam film Terminator, ketika sebuah android yang tidak memiliki daging
dan hanya sebuah tulang–tulang dari logam, menghasilkan kekuatan
melalui putaran roda gigi pada sendi–sendinya sampai terkunci. Seperti itu
yang saya rasakan-- saya bergerak dan tiba–tiba terkunci. Secara tepat,
tanpa dapat dihindari, saya terjatuh berlutut pada satu kaki dan pada saat itu
beliau tetap menjaga kontrol terhadap saya secara sempurna. Beliau melakukan
kontak mata sepanjang teknik dilakukan --saya merasa, benar atau tidak, beliau
seperti menilai respon saya terhadap sakit dan dominasi, secara jujur dapat
saya katakan, ini adalah teknik yang sempurna. Apakah saya marah, takut,
bertahan, berusaha menyangkal bahwa beliau, dalam konteks teknik, menang?
Seorang laki–laki kecil paruh baya ini?
Sepertinya beliau menyukai apa
yang dilihat saat itu karena beliau memanggil saya minimal satu kali di tiap
kelas beliau yang saya hadiri. Selalu dua respon
yang dilakukan terhadap serangan saya, wakigatame
pada satu tangan, dan shomen uchi irimi
nage. Teknik irimi nage milik Doshu, saya yakini, sebuah ciri khas pengaruh
Doshu pada perkembangan teknik aikido saat ini, karena cara Doshu melakukan irimi nage tersebut mungkin adalah cara yang paling umum dilakukan oleh
tiap praktisi aikido. Pertama–tama,
beliau sangat sulit ditangkap: Saya merasa seperti mengejar putik bunga yang
diterbangkan angin. Ini menimbulkan pertanyaan, sebab, agar teknik tersebut
dapat dilakukan, seorang uke harus
“melemparkan diri sendiri” kepada beliau, pada kadar tertentu. Beliau akan
melakukan gerakan irimi ke arah luar,
dan menaruhkan tangan pada bahu uke,
terkadang pada belakang leher, atau pada kerah Gi. Terus bergerak ke sudut belakang uke, beliau akan membawa bahu/leher uke ke bawah, menekuk lututnya sedikit. Berikut beberapa contoh
beliau dalam melakukan teknik irimi nage,
mungkin sedikit berbeda dengan teknik yang dilakukan saat beliau lebih muda. http://www.youtube.com/watch?v=TZ6Dv7h8DC4&feature=fvst
Sejujurnya, saya
tidak ingat “harus” terjatuh pada titik tersebut. Saya tidak merasakan beliau
menggunakan seluruh berat badannya (kadang disebut aiki-sage dalam Daito Ryu,
menurut saya), langsung melalui lengan dan tangannya, badannya sebagai satu
kesatuan, sehingga saya mengalami hilang keseimbangan, dan terpaksa jatuh.
Akan tetapi, saya merasa diberi “tanda” untuk jatuh, dan saat saya sampai pada
titik tertentu, saya hanya harus jatuh. Saya akan menghantam matras dengan
perpaduan yoko ukemi dan mae ukemi, lalu Doshu akan melanjutkan bergerak ke arah belakang saya. Adalah tugas
saya untuk berusaha mengejar beliau, berusaha memulihkan kembali posisi kaki
saya, dan menyerang beliau kembali, sambil beliau meletakkan tangannya dengan
daya secukupnya pada bahu/belakang leher saya atau kadang pada tangan saya yang
di depan, untuk menyulitkan saya bangun tetapi tetap dapat saya lakukan. Pada
dasarnya saya seperti berusaha mengejar ekor saya sendiri melalui belakang bahu
saya, tidak seperti anjing yang berputar ke depan. Saat saya sudah berhasil
memulihkan keseimbangan pada kaki saya, tangan beliau yang satu lagi datang
ke arah bawah dagu saya dan dengan bantuan tangannya yang masih berada di
bahu/leher saya, saya kembali terjatuh.
Hal tersebut sangat
melelahkan, 4 kali melakukan ukemi
saya sudah kehabisan napas. Ciri khas teknik beliau adalah beliau berusaha
untuk selalu bergerak. Menghindari benturan, idealnya adalah beliau tidak ada
di tempat yang kita inginkan beliau berada sehingga uke menjadi kehilangan keseimbangan dalam usaha meraih atau
menyerangnya.
Jika ada yang
bertanya–tanya, saya tidak pernah sekali pun mencoba mencurangi/menipu,
melawan, mengikuti dengan pelan, menahan tangan, atau melakukan tackling
terhadap beliau. Jika saya ingin mencoba kemanjuran dari teknik aikido, banyak anak muda yang
dapat saya jadikan uji coba. Beliau seorang “gentleman”,
dan saya berlaku demikian pula terhadap beliau.
Saya tidak pernah
bercakap–cakap dengan beliau setelah perkenalan pertama. Suatu saat saya
datang ke kelas 06.30 pagi dengan salah seorang murid Yasuo Kobayashi, kami
berdua dalam keadaan mabuk karena kami baru pulang pada pukul 3 pagi. Doshu mendekati untuk mengoreksi teknik
yang kami lakukan, beliau mencium sesuatu dari kami, bergerak mundur, mulai
tertawa dan menggoyangkan telunjuknya menegur kami, lalu berjalan pergi.
O Sensei dan Kisshomaru Ueshiba |
Pada suatu malam,
saat sedang makan bersama beberapa uchi
deshi pada suatu tonkatsu-ya,
timbul pertanyaan apakah saya ingin menjadi seorang uchi deshi. Saya sudah berlatih Araki
ryu saat itu, meninggalkan aikido
menuju dunia yang berbeda sehingga saya keberatan. Saya yakin pertanyaan
tersebut tidak akan muncul tanpa ada persetujuan pada pembicaraan sebelumnya
tentang saya di dojo. Hal ini berarti
banyak bagi saya bahwa saya dinilai cukup pantas dimata Doshu, karena saya sangat mengaguminya. Beliau berhasil melewati
didikan seseorang yang luar biasa, ketika pada umumnya seorang anak seperti
beliau akan menjadi tidak berarti atau hanya menjadi “echo” dari bapaknya. Beliau berhasil menegosiasikan situasi yang
sangat sulit, dengan banyak tokoh–tokoh, yang sebagian besar lebih berkuasa
dari beliau, dan sebagian lainnya yang merasa demikian. Beliau menempatkan
dirinya, tidak pada posisi puncak, tapi pada posisi pusat. Kembali meninjau ke
belakang, saya berpikir bahwa irimi nage
dan wakigatame yang dilakukan
mencontohkan gaya kepemimpinan beliau sama seperti gaya teknik beliau di dojo. Beliau konsisten dalam hal ini.
Beliau lebih banyak menempatkan dirinya tidak sepenuhnya terjangkau oleh orang–orang yang setuju berada dalam “sistem” nya. Namun, beliau dapat melakukan “armbar” yang keras sehingga walaupun
jarang, beliau dapat mengambil tindakan tegas terhadap pihak–pihak yang
berseberangan.
Kisshomaru Ueshiba dan Isoyama Sensei |
Kisshomaru Ueshiba dan Saito Sensei |
Kishhomaru Ueshiba dan Yamada Sensei |
_______________________________________________________________________
Berikut
beberapa catatan yang dapat menambah informasi terhadap tulisan di atas, dan
beberapa hal yang secara pribadi dapat saya tangkap:
- Ellis Amdur memulai latihan beladiri pada tahun 1968 dengan berlatih karate, dilanjutkan dengan berlatih beladiri cina. Pada tahun 1973 beliau mulai mempelajari aikido yang membawanya ke jepang pada tahun 1976. Di jepang beliau mulai mempelajari Araki Ryu dan Toda Ha Buko Ryu. Walaupun sudah tidak melanjutkan berlatih aikido, tetapi beliau aktif menulis buku dan diskusi pada forum–forum aikido dan budo lainnya.
- Yasunori
Kuwamori Sensei, seorang Aikido Sensei yang mengelola
Kuwamori Dojo. Dojo tersebut termasuk cabang awal
dari Honbu Dojo. Seigo Yamaguchi
Sensei dan Mitsugi Saotome Sensei merupakan sensei yang diutus dari Honbu untuk mengajar di sana.
Kuwamori Sensei sendiri
awalnya adalah praktisi karate dengan tingkatan Yondan atau Godan. Cukup banyak cerita tentang Kuwamori Sensei dengan kepribadiannya yang
cukup unik dan kerasnya latihan di dojonya
pada saat itu. Eka Sensei dan
saya beruntung dapat berkunjung dan berlatih di dojo tersebut pada tahun 2012
- Mitsugi Satome Sensei, salah seorang murid langsung O’Sensei yang sangat berbakat. Beliau mendirikan Aikido School of Ueshiba (ASU) di
Amerika yang sampai saat ini adalah salah satu organisasi aikido terbesar disana. Beliau
sendiri saat ini berumur 78 tahun dan masih aktif mengajar. Dalam
perjalanannya, ASU sempat keluar dari Aikikai,
tetapi bergabung kembali beberapa tahun kemudian.
- Terry
Dobson, termasuk salah satu murid asing generasi awal dari O’Sensei yang sempat berlatih di Honbu Dojo selama kurang lebih 10
tahun.
- Yoshio
Kuroiwa Sensei, salah satu murid
langsung O’Sensei yang
sebelumnya adalah seorang petinju professional sehingga pandangan dan gaya
beliau dalam aikido cukup unik.
Beliau selalu menolak untuk naik tingkat, sampai Kisshomaru Ueshiba Sensei secara pribadi meminta
beliau untuk menerima tingkatan Rokudan
dengan alasan tidak mungkin mengirim beliau untuk mengajar di dojo tanpa memiliki tingkatan.
- Ichiro
Shibata Sensei, salah satu uchi deshi awal dari Kisshomaru
Ueshiba Sensei di tahun awal
1970, saat ini menyandang tingkatan Nanadan,
dan pada tahun 1989 pindah ke amerika untuk menjadi chief instructor pada Berkeley
Aikikai
- Nobuyuki
Watanabe Sensei, salah satu
murid langsung O’Sensei yang
sangat terkenal dengan teknik “no
touch” nya.
- Beberapa
hal yang dapat saya ambil pelajaran adalah dalam hal etika Ellis Amdur dalam
berlatih, antara lain:
1.
Berpikiran
positif. Ellis tidak berpikir bahwa saat para guru menggunakannya sebagai uke untuk mencoba beberapa teknik adalah
hal yang negatif (pada masa itu seorang asing yang berlatih di Honbu sering merasa didiskriminasikan dan
diperlakukan secara keras berlebihan). Namun Ellis tetap menanggapinya dengan
berlaku sebagai seorang uke yang
baik, yaitu menyerang secara bersih dan jujur, tanpa mengacau teknik sang guru,
tetapi dalam kewaspadaan penuh sehingga dapat melakukan ukemi yang aman.
2.
Melakukan
teknik seperti yang ditunjukkan atau diajarkan pemimpin latihan. Hal ini
sudah sering diingatkan oleh Sensei
dan para Senpai di dojo. Dengan etika seperti ini, ilmu
yang akan diajarkan atau pengetahuan yang akan dibagi oleh pemimpin latihan
akan lebih banyak diserap oleh yang berlatih. Melakukan teknik yang lain dari
yang ditunjukkan adalah menunjukkan sikap tidak hormat kepada pemimpin latihan
dan sedikit banyak akan mengganggu jalannya latihan.
3.
Kewaspadaan dan kemampuan ukemi. Ukemi merupkan salah satu dasar paling penting agar seseorang dapat
semakin berkembang dalam aikido. Uke yang baik akan menjadi nage yang baik. Apabila kita dapat
merasakan apa yang dilakukan oleh nage,
dan kita dapat menerimanya dengan baik, hal tersebut akan menambah pengetahuan
kita khususnya saat kita menjadi nage.
Dasar–dasar sebelum berlatih teknik sangat penting untuk dikuasai. Dimulai
dari postur tubuh, tai sabaki, ashi sabaki, ukemi, shikko, dll.
5.
Tidak
berniat mencoba atau mengetes teknik, baik saat menjadi nage maupun uke.
Salah satu perbedaan aikido dengan
beladiri lain pada umumnya adalah tidak adanya kompetisi, baik secara resmi
seperti kejuaraan, maupun secara tidak resmi seperti mengetes teknik pemimpin
latihan atau pasangan latihan di dojo.
Sensei menekankan untuk latihan mudansha sampai dengan shodan adalah menguasai prinsip–prinsip dasar postur dan gerakan serta menghafal bentuk teknik. Berhubungan dengan hal ini, saya berpendapat
sebaiknya seminar aikido tidak
diikuti oleh orang yang berlatar belakang beladiri lain tanpa pernah
mempelajari aikido khususnya mengenai
cara berlatih aikido. Tanpa sama
sekali meragukan kemampuan seorang sensei
yang mengadakan seminar apabila menemui seorang yang berlatar beladiri lain
datang dan mencoba apakah teknik sang sensei
efektif atau tidak. Namun, hal ini akan mengganggu pelajaran yang ingin
disampaikan sang sensei dan sedikit
banyak mengubah aura latihan.
- Kalimat
favorit saya pada artikel diatas adalah “He was a
gentleman, and I acted like one too”. Kalimat
tersebut didahului dengan paragraf yang menerangkan bahwa Ellis tidak
pernah mencoba untuk mencurangi/menipu, melawan, mengikuti dengan pelan,
menahan tangan, atau melakukan tackling
saat Kisshomaru Ueshiba Sensei
melakukan teknik. Hal tersebut dilakukan oleh Ellis dengan alasan bahwa
Kisshomaru Ueshiba Sensei adalah
seorang “gentleman”, dan Ellis
(menjadi) berlaku demikian pula terhadap beliau (saya tidak menemukan kata
yang tepat untuk menerjemahkan “gentleman”
pada kalimat ini). Bukan karena Kisshomaru Ueshiba Sensei adalah seorang yang “sakti”, tekniknya tidak dapat
dipatahkan, badannya besar/kekar, sudah berumur, atau karena beliau adalah
Doshu, melainkan karena beliau
adalah seorang “gentleman”.
Secara pribadi, hal seperti inilah yang menjadi tujuan saya mempelajari aikido, yaitu melalui latihan aikido secara fisik dan mental
membentuk pribadi seorang “gentleman” sehingga dapat “mengajak” atau “mempengaruhi” orang lain menjadi pribadi
yang lebih baik. Mungkin ini salah satu maksud dari O’Sensei dalam satu paragraf doka nya: First master
the technique of Aiki; The way of the Gods; Then no enemy will ever attack.
Jakarta, 31 Mei 2015
Farman B. Razif
Komentar
Posting Komentar