Peran Sempurna Seorang Uke

Salah satu pondasi dalam mendalami aikido adalah menjadi seorang uke. Uke memegang peranan penting ketika nage mengesekusi sebuah waza. Sukses tidaknya waza yang dieksekusi tergantung dari sikap uke sebagai penerima waza. Karena peran itulah, menjadi seorang uke tak bisa asal-asalan.

Nah, bagaimana menjadi seorang uke yang sempurna? Bagaimana seharusnya sikap uke saat menerima waza dari nage?

Berikut saya kutip sebuah artikel yang ditulis oleh Javier Dominguez di kolom www.aikidodeshi.org berjudul The Perfect Uke, yang menguraikan pengalamannya tentang bagaimana seharusnya menjadi seorang uke. Selamat membaca, Aikidoka!


The Perfect Uke (Uke yang Sempurna)


Suatu waktu saat latihan saya putuskan untuk menjadi uke yang sempurna. Meski kenyataannya saya masih jauh dari apa yang disebut “sempurna”, tapi keputusan itu membantu saya mengubah cara berlatih ― agar lebih baik, tentunya. Sekarang timbul pertanyaan, apa sebenarnya definisi uke itu? Apa makna uke itu?


Secara umum uke didefinisikan sebagai penerima teknik/waza. Gerakan inisiasinya adalah menyerang kemudian menerima teknik dari orang yang diserang (nage). Gerakan ini disebut sebagai "taking ukemi", tujuan utamanya adalah untuk melindungi uke dari serangkaian gerakan saat menerima teknik. "Taking ukemi" adalah keterampilan "bawaan" (keterampilan yang muncul dari tiap-tiap individu dan tiap individu memiliki keterampilan yang berbeda)  yang diapresiasi oleh para Shihan. Mungkin kalian tahu bahwa Tamura Sensei menjadi salah satu uke favorit O’Sensei. Atau, para uke yang diakui di belahan dunia barat seperti Donovan Waite, Peter Van Marcke, Vu HA, tod Martin, Jaime Khan, John Chiarolanzio, Mike Jones, Stephanie Cook, dan Sam Taitel.

Dalam sebuah seminar, Bruce Bookman Sensei (dari Seattle, WA) mengatakan bahwa uke bermakna menyerap. Saya bertanya kepadanya, ‘Bagaimana menjadi uke yang sempurna?’ Dia mengatakan bahwa uke memerlukan fleksibilitas. Uke yang hebat menghadapi partner-nya (nage) dengan keterbukaan, ketulusan, dan komitmen untuk menjaga koneksi. Semua itu sekaligus bertujuan untuk melindungi diri mereka sendiri. Dengan kata lain, diri mereka terlindungi berkat keterbukaan, ketulusan, dan komitmen menjaga koneksi yang mereka lakukan.

Saat saya putuskan menjadi uke terbaik, yang saya pertimbangkan adalah keterbatasan fisik. Saya tak mau hanya berpikiran soal bagaimana jatuh dan terbang (karena saya memang tak bisa melakukannya) tapi saya juga menitikberatkan pada cara menjadi uke yang tulus dan terkoneksi sehingga saya lebih memilih praktik langsung tanpa banyak berpikir.

Saat masih pemula, saat menjadi uke, saya melakukan ukemi dengan berguling di atas matras secepat mungkin sehingga nage dengan tekniknya bisa membuat saya tak berkutik. Lama-kelamaan, saya mulai mengulur waktu seolah menolak mengikuti apa yang dia lakukan. Gambaran kasarnya, saya tak mau membiarkannya begitu saja. Hal itu semata-mata bisa karena rasa takut, punya cedera, adanya perasaan seolah-olah lebih baik dari nage, coba mengajarkan sesuatu ke nage, hari buruk yang dialami, atau hanya sekedar mau jadi asshole. Namun, hari ini saya putuskan untuk coba mengikuti nage, apa pun arahan gerakannya. Itu artinya jika gerakannya tak bisa membuat saya kehilangan keseimbangan maka saya tidak akan berguling, atau dengan kata lain saya justru akan berdiri stabil. Selain itu saya juga mencoba terbuka merasakan arah gerakannya.

Menjaga uke untuk tulus. Saat menjadi uke, saya tidak mau berpikir hanya mengikuti arah tertentu seperti yang diharapkan nage saat melakukan apa yang instruktur tunjukkan. Tugas saya sebagai uke adalah menjadi fleksibel dan mampu menyerap apa pun yang nage lakukan. Menurut saya, Osawa dan Shibata Sensei menunjukkan teknik yang berbeda saat berdemonstrasi di sebuah seminar, mereka tidak membingungkan para peserta, tapi apa yang mereka lakukan saat berdemonstrasi semata-mata hanya menjaga uke untuk tulus. Selama demonstrasi, ketika instruktur memanggil seorang uke, kebanyakan uke tidak tahu-menahu mengenai teknik apa yang harus dia lakukan. Oleh karena itu, mereka berpikir untuk mengikuti sang instruktur. Namun, ini tidak berlaku pada Osawa Sensei. Dia akan mengubah apa yang dia lakukan sehingga saya pikir uke-lah yang harus siap dan responsif, karena setiap serangan adalah awal dari teknik baru. Uke tidak tahu apa yang akan terjadi. Saat kita mengasumsikan gerakan nage selanjutnya, saat itulah kita kehilangan responsivitas. Kita kehilangan ketulusan saat menjadi uke.

Ini adalah aspek penting menjadi uke. Di dojo, Sugano Sensei mengajarkan dua atau tiga bukaan/teknik untuk satu serangan. Hal ini dilakukan demi sang uke, membantunya untuk fokus dan responsif agar teknik/waza yang dieksekusi sukses. Kalau kalian tidak tahu apa yang nage lakukan berikutnya, kalian tidak akan bisa mempengaruhi tubuh untuk jatuh pada posisi tertentu. Akan tetapi, jika kalian melakukannya, justru hal itu akan membuat kalian rentan terhadap cedera. Ini bukanlah pemikiran cerdas. Memang tidak mudah, dan ini persoalan besar bagi saya. Saya benar-benar mencoba tulus saat menjadi uke.

Hormatilah nage. Menjadi nage adalah jalan seseorang untuk belajar. Jika kita ingin membantunya tumbuh, kita harus menghilangkan ego kita. Mengajarkan apa yang kita anggap benar dalam mengeksekusi teknik/waza dengan cara menolak apa yang dilakukan nage terhadap kita merupakan ekspresi ego ketimbang membantu sang nage. Uke yang hanya mengikuti anggapan benarnya saat menyelesaikan teknik, sesungguhnya melakukan kerugian besar terhadap partner-nya. Pendekatan ini hanya boleh dilakukan oleh para Shihan dan instruktur yang mengajar di kelas. Jadi, kalian tidak seharusnya memiliki tujuan itu ketika menjadi uke. Memang benar ada kalanya hal ini tidak berlaku, contohnya seperti saat kita berlatih dengan pemula/kohai. Meski begitu, saya berulangkali mengoreksi apa yang saya pikirkan dan sikap saya saat menjadi uke, hanya untuk memastikan bahwa itu bukan saya. Yang tak seharusnya saya lakukan. Menolak itu mudah jika kita tahu tekniknya.

Bebas.  Yang terakhir, saat menjadi uke saya ingin bebas dari rasa takut, ego, hari buruk yang saya alami, pikiran "Makan malam apa ya?", atau bahkan "Mmm..…murid baru itu imut juga." Saya ingin menyatu dengan alam semesta. Meski bukanlah perkara mudah dan sering kali saya katakan pada diri sendiri, "Mmmm, mungkin dalam 10 tahun lagi….."

Saat ngobrol dengan Bookman Sensei, dia mengatakan bahwa tujuan menjadi uke berbeda-beda tergantung untuk siapa dan kapan kita menjadi uke. “Saat menjadi uke di depan kelas, kita mencoba membantu nage untuk menyapaikan materi/waza yang akan diajarkan. Saat latihan, kita tulus menyerap teknik yang dilakukan nage dan menjadi acuan baginya untuk dapat menilai bagaimana latihannya berjalan.” Dia juga menyinggung tentang tidak adanya kompetisi dalam aikido. Ia berpikir bahwa, “Semua terserah uke bagaimana mengatur tekanan dalam latihan sehingga nage juga akan terampil berkoordinasi cepat dengan uke. Ini proses yang sensitif untuk menemukan garis antara menolak teknik dan bersikap terlalu rela/pasrah.” Bookman Sensei menyelesaikan pernyataannya dengan, “Karena tidak ada kompetisi dalam aikido untuk tahu mana teknik yang praktis atau tidak, atau untuk menunjukkan titik lemah dari teknik itu, semua bergantung pada integritas antara uke dan nage untuk membuat latihan jadi berguna atau tidak.”

So, jalan ini sulit, berliku, dan panjang. Saya semakin tua dan tidak bisa mengikuti secepat saat  saya masih jadi pemula, yang ketika itu belum terpikirkan bagaimana dan mengapa harus mengikuti apa yang nage lakukan: menjadi uke yang sempurna. Saya tak punya pilihan selain menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam keterbatasan saya saat ini. Dan lebih baik fokus pada latihan seperti apa yang Sugano Sensei katakan, "Latihan dengan tulus."


Oleh: Wahyu Puspita

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Tenkei Aikidojo

TENKEI AIKIDOJO 2020-2021