It Had to Be Felt #2: Chasing waka Sensei
#2 Mengejar Waka
Sensei, oleh Ellis Amdur
Waka Sensei (Sensei
Muda) adalah sebuah sebutan informal/formal yang diteruskan kepada calon pemimpin
Aikikai berikutnya. Pertama kali
sebutan itu ditujukan kepada Kisshomaru Ueshiba saat bapaknya masih hidup. Selanjutnya, sebutan itu menjadi sebutan untuk Moriteru Ueshiba dan sekarang
untuk Mitsuteru Ueshiba. Saat saya berlatih di Aikikai Honbu, Moriteru adalah Waka
Sensei. Saat itu, beliau tidak mengajar kelas. Beliau menghabiskan banyak
waktunya bersama para uchi deshi, paling
tidak saat di dojo, namun mereka
memperlakukan Moriteru dengan sangat hati–hati --- bukan seperti “bermain”
dengan anak kecil, melainkan lebih tepatnya adalah memperlakukan Moriteru secara “benar”.
Saat beliau berlatih dengan para seniornya seperti Shibata-san, Seki-san, atau
Miyamoto-san, atau para senior
tangguh lainnya di dojo, mereka
melemparnya dengan keras, dan mereka membuatnya berusaha keras saat melakukan
lemparan, tetapi saya tidak pernak melihatnya dilempar dengan teknik shiho-nage dengan posisi yang
memungkinkan terjadinya dislokasi bahu, tidak pernah melihatnya dilempar
ke samping dengan kote-gaeshi yang
dapat menyebabkan terkilirnya pergelangan tangan, tidak pernah melihat pasangan
latihannya menghempaskan kepalanya ke matras saat melakukan irimi-nage, dan tidak pernah melihatnya
berteriak kesakitan saat kuncian terus dilakukan walaupun beliau sudah memukul
matras memberi tanda. Saya bahkan tidak pernah melihatnya tetap “dipaksa”
meneruskan latihan melebihi batas kelelahannya. Beliau berlatih dengan keras,
tetapi saya tidak pernah melihat beliau berada dalam kondisi beresiko, dan hal
itu dapat dipahami, walaupun tidak ada yang pernah mengatakannya, bahwa membuat
beliau berada dalam resiko akan mengakibatkan kehancuran terjadi kepada Anda.
Dalam berbagai hal, gaya beliau dalam Aikido seperti bapaknya, tetapi tetap memiliki beberapa perbedaan. Waka sensei, karena lebih muda dan dapat
bergerak lebih enerjik, menekankan tai-sabaki
melebihi yang dilakukan bapaknya. Oleh karena itu, saya mendapatkan beliau
sebagai orang yang paling menyulitkan dalam latihan bersama di Aikikai: bukan karena kepribadiannya
karena beliau sangat ramah, menyenangkan, atau pun saat melempar beliau--beliau melakukan ukemi dengan sangat
baik. Beliau tidak pernah melawan atau menahan teknik seseorang--beliau menerima
lemparan dan kuncian dengan cara yang benar. Masalahnya adalah saat beliau
menjadi tori. Beliau mengambil
langkah yang sangat lebar, dan beliau bergerak saat anda akan bergerak
melakukan serangan--kadang bahkan sebelumnya. Penyerang selalu berada dalam
garis tipis untuk berhenti dan menonton beliau bergerak sendiri sepanjang matras karena tidak ada alasan yang memaksa kita untuk mengejar beliau, selain hanya karena gerakan kita dibutuhkan agar teknik yang sudah dirancang
sebelumnya dapat dilakukan. Saya kadang terpikir untuk hanya diam saja dan
mengatakan, “ Jika Anda sudah selesai……….” Yang membuat keadaan lebih buruk
bagi saya pribadi, Honbu dojo
memiliki matras yang dilapisi kain kanvas tua, penuh dengan bakteri. Setiap
saya melakukan mae-ukemi untuk teknik
ikkyo, nikyo, dll, akan terlihat segumpal debu dan spora membumbung keluar
matras saat terjadi benturan. Saya menderita asma berat saat itu, dan hal
tersebut di atas, ditambah dengan mengejar Waka
sensei dalam sebuah radius besar, adalah sebuah hal yang mengerikan. Ada
beberapa saat ketika saya hanya bisa melakukan rei berhenti latihan kepada beliau dan duduk di samping matras dalam
kelelahan. Bagaimana pun juga, mengenyampingkan kesulitan saya terhadap “keadaan
lingkungan” latihan, beliau memaksimalkan gerakan uke yang melebihi batas keseimbangannya dan selalu menghindari
benturan. Dalam artikel sebelumnya, saya mengibaratkan menyerang Kisshomaru
Ueshiba seperti mengejar kelopak bunga yang berjatuhan; menyerang Waka sensei adalah seperti berusaha
menangkap seekor serangga yang secara tak terduga bergerak mengelilingi
permukaan kolam air.
Namun, dalam hal lain, teknik beliau berbeda dari bapaknya. Kisshomaru
Ueshiba cenderung memiliki kontraksi otot yang konsisten dalam setiap gerakan.
Dalam film–film saat beliau masih muda, kita dapat memperhatikan bahwa bahu
beliau tampak kaku, namun saat beliau menyadarinya, beliau mengintegrasikan
fungsi bahunya secara lebih efektif dengan bagian tubuh lainnya. Beliau
bergerak dalam satu kesatuan. Teknik Waka
sensei didasari oleh gerakan fisik yang berbeda, meskipun terkadang muncul
dalam teknik bapaknya. Dengan lengannya yang selalu lurus, bahunya kendur dalam
hampir semua keadaan sehingga saat dipadukan dengan tai-sabaki yang lebar, meraih tangannya (atau menyerangnya hanya
untuk bersentuhan dengan tangannya, seperti dalam shomen-uchi contohnya), adalah seperti berusaha berpegangan pada
pintu mobil yang terayun, anda sudah dalam keadaan tidak seimbang karena
mobilnya juga dalam keadaan bergerak. Tidak pernah, dalam ingatan saya,
perasaan terkoneksi dengan center
beliau, perasaan apa pun yang membuat kita dikuasai oleh tenaga yang lebih
besar, baik itu murni tenaga otot maupun aiki.
Saya tidak pernah merasakan irimi,
ketika beliau mengambil tempat yang tidak dapat saya tempati. Lebih seperti sensasi saat berusaha menangkap daun jendela persis saat angin berhembus dan Anda mendapatkan diri Anda sendiri dalam keadaan sudah setengah badan keluar jendela
karena angin meniupnya menjauh dari jangkauan Anda. Apakah Anda benar–benar harus
meraih daun jendela tersebut adalah sebuah hal yang bisa didiskusikan di tempat
lain.
Source link : http://www.aikiweb.com/forums/showthread.php?filter[1]=Ellis
Amdur&t=20748
Komentar
Posting Komentar